"Banyak orang dari negara tetangga kita yang mengalami penyiksaan dan pembunuhan yang sangat sistematis dan masif, sebagian di antaranya baru mendarat lagi Aceh," kata Bivitri Susanti saat menjadi ahli dalam sidang perkara Nomor 89/PUU-XX/2022 yang disiarkan Mahkamah Konstitusi secara virtual di Jakarta, Senin.
Perkara Nomor 89/PUU-XX/2022 terkait dengan pengujian materi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Perkara itu diajukan oleh mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Muhammad Busyro Muqoddas, Marzuki Darusman dan perkumpulan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Etnis Rohigya tersebut, ujar Bivitri, terpaksa melarikan diri dari negara asalnya imbas dari kekejaman yang dihadapinya selama ini.
Menurut pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu, sebagai manusia, semua pihak harusnya merasa terpanggil atas tragedi itu. Kemudian dalam konteks hukum, masalah itu harusnya tidak hanya soal tanggung jawab kemanusiaan saja, namun bagaimana tanggung jawab Indonesia sebagai negara hukum juga harus muncul.
"Perkara itu tidak hanya menyangkut berapa jumlah korban yang terus berjatuhan dan terpaksa melarikan diri ke Indonesia, namun juga mengenai pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar harus segera dihentikan sesuai dengan mekanisme hukum," ucap Bivitri.
Namun, masalahnya, dalam konteks kebijakan HAM, proses kebijakan hukum sulit dilakukan di Myanmar karena pelakunya merupakan bagian dari militer yang sedang berkuasa. Selain itu, Myanmar juga bukan bagian dari Pengadilan HAM atau Pidana Internasional.
Beberapa waktu lalu, pemerintah dari berbagai instansi membantu evakuasi imigran ilegal etnis Rohingya yang terdampar di Pantai Desa Ladong, Aceh Besar, usai kapal kayu yang ditumpanginya mengalami kerusakan mesin.
Setelah mengevakuasi para imigran etnis Rohingya tersebut, tim gabungan menempatkannya di Dinas Sosial Aceh sebagai tempat penampungan sementara. Tim gabungan yang terlibat juga melakukan pengamanan di sekitar lokasi penampungan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2023